Mengetahui Kisah Sejarah Dalam Hidup Moeso
Jakarta - Tumbuh dalam didikan expert politik yang sama, di akhir hayatnya Moeso harus berhadapan dengan adik seperguruannya: Sukarno.
SURABAYA 1916. Malam baru saja singgah di Gang Paneleh. Dari sebuah
rumah terdengar suara sendok dan garpu beradu dengan piring ramai
berdenting. Di meja makan, empat lelaki nampak tengah menikmati santapan
dalam suasana akrab.
Usai menikmati hidangan, mereka tak langsung beranjak dari kursi
masing-masing. Obrolan pun mengalir. Sedikit ramai karena tema yang
mereka diskusikan adalah persoalan kapitalisme dan upaya-upaya jahat
para pengikutnya untuk mengisap Kepulauan Nusantara.
"Apa yang dapat kita buat dengan situasi begini?"ujar Moeso, seorang muda bermata tajam.
"Tentunya tak baik juga kita diam. Sudah cukup Negeri Belanda mengisap
dan memperkaya diri dari kekayaan negeri kita," jawab anak muda lain yang berpenampilan lebih tenang. Namanya Alimin.
Dari jam ke jam, diskusi pun semakin menghangat. Moeso yang cerdas
beberapa kali melontarkan analisa-nya terkait penindasan yang tak
berkesudahan dan cara yang paling memungkinkan untuk melawan kekuasaan
kolonial. Sesekali Alimin menambahkan bahkan mengkritik. Begitu juga
Tjokroaminoto, lelaki yang usianya lebih tua dari mereka.
"Lalu berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?"tiba-tiba terdengar suara kecil menyergah diskusi itu. Kedua anak muda itu cepat mengalihkan pandangan ke sumber suara
tersebut: seorang remaja tampan, beralis tebal dengan tubuh kurus yang
ada di sisi meja makan.
Mereka lantas tersenyum. Keduanya tak bisa
menyembunyikan rasa kagum terhadap perhatian seorang pemuda tanggung
yang sedari tadi hanya terdiam saja itu.
"Anak ini sangat ingin tahu,"ujar Tjokro seraya tersenyum dan melirik Sukarno, nama sang remaja tampan tersebut.
Usai menyeruput seteguk air, Tjokro lantas berkata: "De Vereenidge Oost
Indische Compagnie menyedot dan mencuri kira-kira 1800 juta gulden dari
tanah kita setiap tahun untuk memberi makan Den Haag."
"Lalu apa yang tinggal di negeri kita ini?"Sukarno makin keras bertanya.
"Rakyat tani kita yang mencucurkan keringat mati kelaparan dengan
makanan segobang sehari,"jawab Alimin seolah mewakili gurunya.
"Kita menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa,"tambah Moeso.
"Serikat Islam bekerja untuk memperbaiki keadaan dengan mengajukan
mosi-mosi kepada Pemerintah,"Tjokro menimpali, "Pengurangan pajak dan
serikat-serikat pekerja hanya dapat digerakkan dengan upaya kooperatif
terhadap Belanda. Ya walaupun kita sesungguhnya membenci kerjasama ini."
"Tapi apakah baik untuk membenci seseorang sekalipun dia orang Belanda?"Sukarno semakin semangat bertanya. "Kita tidak membenci rakyatnya. Kita membenci sistem pemerintah kolonial,"ucap Tjokro.
"Lalu mengapa nasib kita tidak berubah kendati rakyat kita telah
berjuang melawan sistem itu sejak berabad-abad?"tanya Sukarno semakin
menjadi.
"Karena para pahlawan kita selalu berjuang sendiri-sendiri.
Masing-masing berperang dengan pengikut yang kecil di daerah yang
terbatas."Kali ini Alimin yang menjawab. Sukarno terdiam. Dia coba
mencerna dan merenungkan semua kata-kata dari orang-orang yang menjadi
kakak seperguruannya itu.
"Sejak itulah aku sadar bahwa kita kalah karena tidak bersatu,"kata
Sukarno seperti yang dikatakannya kepada Cindy Adams dalam Bung Karno
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
YOGYAKARTA 1948. Berita kedatangan seorang tokoh komunis Indonesia
bernama Soeripno bertiup kencang di bulan Agustus itu. Dia yang
sebelumnya berpetualang di negara-negara Eropa Timur tersebut
dijadwalkan akan bertemu dengan Presiden Sukarno.
Dalam pertemuan itu, Soeripno katanya akan didampingi Soeparto, yang
dikatakan sebagai sekretaris pribadinya. Lantas siapa Soeparto? Tak ada
satu pun orang yang tahu dan peduli kepadanya.
Orang mulai peduli dan terkejut saat pada 13 Agustus 1948, kedua komunis
itu benar-benar menemui Sukarno. Begitu bertemu dengan kedua orang
penting tersebut, alih-alih menyambut Soeripno, Sukarno malah menghambur
ke arah lelaki kekar paruh baya yang berdiri di samping Soeripno.
Rupanya Soeparto yang diakui Soeripno sebagai sekretaris pribadinya itu
tak lain adalah Moeso, tokoh komunis internasional yang tak existed
adalah salah satu kakak seperguruan politik Sukarno selama kos di Gang
Paneleh.
Menurut kesaksian langsung seorang wartawan bernama Soeripno dalam koran
Revolusioner, 19 Agustus 1948, pertemuan antara Moeso dan Sukarno
berlangsung mengharukan: Bung Karno memeluk Moeso dan Moeso pun memeluk
Bung Karno. Air mata mereka terlihat berlinang.
"Lho kok masih awet muda?"tanya Sukarno. Dia tertawa sembari tetap merangkulkan tangannya ke tubuh Moeso.
"Oh ya, tentu saja. Ini memang semangat Moskow, semangat Moskow selamanya muda,"jawab Moeso sumringah.
Mereka lantas dipersilakan masuk ke ruangan kerja Bung Karno. Saat Moeso
akan duduk di salah satu kursi, Sukarno menariknya dan membimbing
lelaki itu untuk duduk di sampingnya, dalam sebuah kursi panjang.
"Moeso ini dari dulu memang jago. Dia yang paling suka berkelahi. Dia
memang jago pencak. Juga orang yang suka bermain musik. Kalau pidato, ia
akan nyincing lengan bajunya,"kenang Sukarno kepada orang-orang yang
hadir di sekitarnya saat itu.
Mereka lantas berbicara panjang lebar. Perbincangan serius itu kadang
disela oleh topik-topik romantisme sekitar kehidupan mereka dulu sebagai
sesama penghuni kos-kosan milik Tjokroaminoto di Gang Paneleh.
Sampailah waktunya perbincangan dua sahabat seperguruan itu berakhir.
Sebelum berpisah Bung Karno menyatakan harapannya Moeso suka membantu
kerja-kerjanya dalam melancarkan revolusi Indonesia.
"Tentu saja. Itu sudah kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen
(saya datang ke sini memang untuk menuntaskan masalah)," jawab Moeso
seraya tersenyum dan memegang erat uluran tangan Sukarno.
37 HARI KEMUDIAN. Partai Komunis Indonesia (PKI) memimpin apa yang
dinamakan sebagai upaya-upaya untuk menyelamatkan Republik Indonesia
dari "unsur-unsur fasisme militeristik dan kolaborator Jepang:
Sukarno-Hatta".
Penyelamatan tersebut diwujudkan dengan membentuk pemerintah tandingan
yang diisi oleh orang-orang Front Nasional/Front Demokrasi Rakyat
(FN/FDR) di Madiun. Selain PKI, FN/FDR berisi Serikat Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia (SOBSI), Partai Buruh, Partai Sosialis, Pemuda
Sosialis Indonesia (Pesindo), unsur-unsur tentara dari Divisi Panembahan
Senopati dan beberapa pejabat lokal di Madiun.
Demi menghadapi manuver politik itu, pada 19 September malam, lewat
corong Radio Republik Indonesia( RRI), Sukarno menyatakan kekecewaan
sekaligus kemarahannya dan menilai kubu FN/FDR sebagai pengunting dalam
lipatan.
"Atas nama perjuangan untuk Indonesia Merdeka, aku berseru kepadamu:
... Ikut Moeso dengan PKI-nya yang akan membangkrutkan cita-cita
Indonesia Merdeka atau ikut Sukarno-Hatta yang Insha Allah dengan
bantuan Tuhan, akan memimpin negara Republik Indonesia yang merdeka,
tidak dijajah oleh negara apapun juga!"
Sesungguhnya, Moeso sendiri saat itu sedang di luar kota Madiun dan
tidak terlibat langsung dalam pembentukan Pemerintah FN/FDR. Namun pada
19 September dia menghadapi kenyataan pemerintah yang didirikan atas
konsep pemikirannya itu telah dibentuk.
"Senang atau tidak senang, ia harus menghadapinya ..."tulis Soe Hok Gie dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Moeso lantas mulai memainkan bidaknya. Di depan corong Radio Gelora
Pemuda Madiun, ia membalas ultimatum Sukarno dengan pidato yang tak
kalah berapi-api:
"Sudah tiga tahun revolusi nasional kita berjalan di bawah pimpinan
kaum borjuis nasional, yang bersifat goyang menghadapi imperialis
umumnya dan terhadap Amerika khususnya ... Sebaliknya anasir-anasir
pemerintah telah memakai revolusi kita sebagai kuda-kudaan untuk
menguntungkan diri.
Mereka sewaktu pendudukan Jepang telah menjadi quisling budak-budak Jepang, tukang jual romusha dan propagandis-propagandis Heiho ... Sukarno memakai alasan-alasan palsu telah menuduh FDR dan PKI Moeso sebagai tukang pengacau dan lain-lain.
Lupakan Sukarno! ... Rayat seharusnya menjawab: Sukarno-Hatta,
budak-budak Jepang dan Amerika. Memang cirri wanci lali ginowo mati.
Pasti rakyat akan menjawab: Moeso selamanya menghamba rakyat Indonesia,
hidup, merdeka dan menang perang!"demikian kata Moeso seperti dikutip
sejarawan Harry A. Poeze dalam Madiun 1948:
PKI Bergerak
Sejarah mencatat akibat dua pidato itu, rakyat Indonesia kemudian saling
bantai dan saling bunuh. Revolusi bergerak kencang dan menghantam
apapun yang ditemuinya, termasuk 'anak-anak kandungnya' sendiri.
AKHIR OKTOBER 1948. Pendirian Pemerintah FN/FDR berhasil digagalkan oleh
tentara yang tetap setia kepada Sukarno-Hatta. Alih-alih mereorganisasi
perlawanan, kekuatan sayap kiri yang dipimpin oleh Moeso itu malah
kocar-kacir.
Untuk menghindari pengejaran tentara pemerintah, Moeso
sendiri memutuskan untuk menghilang. Beberapa minggu upayanya itu
berhasil: tentara pemerintah tak bisa mengendus keberadaan agen komunis
internasional tersebut.
Hingga tibalah pada 31 Oktober 1948. Saat itu dua petugas keamanan Desa
Balong di Ponorogo, mencurigai seorang lelaki priyayi dalam penampilan
sederhana tengah berjalan seorang diri. Ketika dihentikan, awalnya
lelaki tersebut sangat kooperatif.
Dia menjawab setiap pertanyaan yang
diajukan dan memberikan selembar surat keterangan jalan. Namun ketika
salah satu dari petugas itu akan memeriksa buntelan sarung yang dia
bawa, sekonyong-konyong orang yang tak lain adalah Moeso itu,
mengeluarkan sepucuk pistol dan langsung menembak sang perampas.
Selanjutnya Moeso kabur dengan sepeda ontel milik salah seorang petugas
desa itu. Di tengah jalan, dia bertemu dengan sebuah dokar dan mengancam
kusir dokar untuk membawanya dalam kecepatan tinggi. Dalam Sekitar
Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid VIII, A.H. Nasution menceritakan
tentara setempat kemudian cepat berkoordinasi menanggapi kejadian di
Desa Balong itu.
Sementara itu di tengah perjalanan, dokar yang ditumpangi lelaki yang
tak existed adalah Moeso tersebut berpapasan dengan sebuah mobil yang
ditumpangi oleh serombongan prajurit dari Batalyon Sunandar. Begitu
melihat mobil tersebut, dengan sigap, Moeso meloncat dan langsung
menodongkan senjatanya ke arah para penumpang.
Kendati para prajurit itu bersenjata, todongan senjata Moeso lebih
cepat. Terpaksalah mereka menuruti perintah Moeso untuk meninggalkan
mobil tersebut. Moeso sendiri dengan cepat langsung duduk dibelakang
kemudi.
Namun sial, ketika akan dihidupkan, mobil itu tiba-tiba ngadat.
Tanpa banyak bicara, salah satu dari prajurit lantas meraih stengun di
bagian belakang mobil dan langsung menodong Moeso. "Keluar dari mobil dan menyerahlah!"teriaknya.
Moeso dengan tenang keluar dari ruang kemudi. Dalam tatapan tajam bak
singa siap bertarung, dia justru membalas teriakan sang prajurit dengan
kata-kata yang pelan namun tegas: "Engkau tahu siapa saya ?! Saya Moeso!
Engkau baru kemarin jadi prajurit dan sekarang berani-beraninya meminta
saya untuk menyerah pada engkau ?! Tidak! Saya tidak akan menyerah!
Lebih baik mati daripada menyerah Walau bagaimanapun saya tetap merah
putih!"
Menyaksikan sikap Moeso yang sangat percaya diri dan berwibawa, para
prajurit itu menjadi keder. Alih-alih memberondong tubuh Moeso dengan
peluru, mereka justru melarikan diri menuju desa terdekat.
Beberapa saat kemudian, perburuan pun dimulai. Moeso yang melarikan diri ke sebuah kampung kemudian memilih sebuah kakus untuk tempatnya bertahan sekaligus bersembunyi. Kapten Sumadi yang memimpin perburuan itu, lantas memerintahkan untuk mengepung tempat tersebut.
Dia lalu berteriak agar Moeso sudi menyerahkan diri. Alih-alih menyerah, kata-kata Sumadi malah dijawab Moeso dengan tembakan. Maka tanpa ampun para prajurit itu kemudian memberondong kakus tersebut.
Begitu hamburan peluru berhenti, mereka menemukan tubuh kekar Moeso
tengah terkapar dalam genangan darah. Dia kemudian diberitakan tewas. "Mayatnya lantas dibawa ke Ponorogo dan setelah dipertontonkan ke khalayak kemudian dibakar,"ungkap Soe Hok Gie.
Sejarah memang tak bisa diterka, ke mana arah sesungguhnya dia akan berjalan.
Komentar
Posting Komentar