Kisah Tas Sukarno Yang Hilang Dan Orang Bukittinggi
Jakarta - Tak ada yang paling membuat malu orang Minang di Bukittinggi selain cerita saat tas Sukarno raib di kota mereka. Awal Maret 1942, ancaman Jepang semakin dekat ke Hindia Belanda. Demi mencegah balatentara Dai Nippon itu mempergunakan Sukarno sebagai alat propaganda,
orang-orang Belanda berniat membawa Sukarno dan Inggit
Garnasih ke Australia. Namun rencana tinggalah rencana. Dalam
kenyataannya kekuatan militer KNIL di Sumatra tak berdaya ketika
berhadapan dengan Tentara Ke-25 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.
"Mereka seperti pengecut: lari terpontang-panting ... Dan membiarkanku
tinggal. Ini adalah kesalahan besar dari mereka,"ungkap Sukarno dalam
otobiografinya, Bung Karno Pejambung Lidah Rakjat Indonesia (disusun
oleh Cindy Adams).
Pihak Hindia Belanda hanya mampu membawa Sukarno dan seluruh keluarganya
dari Bengkulu ke Padang. Saat di ibukota Sumatera Barat itulah, Sukarno
sekeluarga untuk sementara tinggal di rumah Woworuntu, seorang kenalan
baik asal Manado.
Militer Jepang lambat laun dapat mengendus keberadaan Sukarno. Mereka
lantas mendatanginya sekaligus mengundang Sukarno untuk datang ke
Bukittinggi, salah satu markas besar mereka di Sumatra.
Singkat cerita, bertemulah Sukarno dengan pimpinan tentara Jepang
bernama Kolonel Fujiyama. Dalam pertemuan itu, Fujiyama mengajak Sukarno
untuk bergabung dalam rencana besar pihak Dai Nippon untuk memerangi
Sekutu.
Ajakan itu disambut baik oleh Sukarno. Dia merasa untuk langkah
awal menuju kemerdekaan, uluran tangan Jepang itu harus dimanfaatkan
sebaik-baiknya. Selanjutnya hubungan baik pun terjalin antar kedua
pihak.
Pada suatu hari, Sukarno mendengar berita bahwa Anwar Sutan Saidi (salah
seorang kawan baiknya selama di Sumatra Barat) diciduk Kenpeitai
(Polisi Militer Angkatan Darat Jepang) di Bukittinggi.
Diberitakan jika
Anwar telah bersekongkol dengan sejumlah pihak yang pro Sekutu untuk
melawan kekuasaan tentara Jepang. Merasa sahabatnya itu ada dalam
bahaya, Sukarno lantas memutuskan untuk pergi menghadap Kolonel Fujiyama
di Bukittinggi.
Sampai di kota berhawa sejuk itu, Sukarno langsung menuju rumah Munadji
di Jalan Syekh Bantam. Di rumah salah seorang kawan Minang-nya itu, dia
lantas menitipkan tas yang berisi kalung emas dan liontin berlian
kepunyaan Inggit Garnasih.
Sukarno sendiri lalu bergegas menemui para pembesar militer Jepang di markasnya dan berhasil membebaskan Anwar hari itu juga. Usai urusan Anwar selesai, Sukarno balik lagi ke rumah Munadji. Namun alangkah kesalnya Bung Karno ketika tahu tas miliknya telah raib digondol maling.
Munadji, Anwar dan para tokoh Bukittinggi merasa malu
atas kejadian itu. Mereka lantas meminta pertolongan kepada seorang
ulama bernama Inyik Djambek (panggilan hormat kepada Syekh Mohammad
Djamil Djambek).
Tak memerlukan waktu lama, berkat bantuan sang ulama yang masih kerabat
dekat dari Mohammad Hatta itu, tas milik Sukarno bisa muncul kembali.
Tersebarlah berita jika maling 'tak tahu diri itu' adalah seorang lelaki
Tionghoa.
Dia mengembalikan sendiri tas itu dengan menaruhnya di sudut suatu sawah. Tas itu kemudian diambil oleh Inyik Djambek dan diserahkannya langsung kepada Sukarno. Benarkah sang pencuri itu adalah seorang Tionghoa?
Hasjim Ning, salah
satu keponakan Hatta meragukan cerita itu. Dalam otobiografinya yang
disusun oleh A.A. Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang, Hasjim pernah
mengonfirmasi cerita tersebut kepada orang-orang Bukittinggi yang tahu
akan kejadian itu. Jawaban mereka sangat mengejutkan.
"Ah yang mencurinya memang orang awak. Karena malu pada Bung Karno,
dikatakanlah yang mencurinya orang Cina. Padahal mana berani Cina di
sana menjadi pencuri. Apalagi mencuri milik Bung Karno, seorang pemimpin
yang sangat dihormati rakyat ..."ungkap salah seorang dari mereka.
Menurut Hasjim, kejadian sebenarnya adalah begitu mendapat laporan tas
milik Bung Karno digondol maling, Inyik Djambek berinsiatif memanggil
pimpinan penjahat paling ditakuti di Bukittinggi. Dimarahinya
habis-habisan sang pemimpin dunia hitam itu.
"Malu awak, tolonglah carikan!"katanya.
Malu dan segan kepada sang ulama dan Bung Karno, 'godfather' itu
kemudian mencari 'maling kelas teri' tersebut. Tidak perlu waktu
berjam-jam, orang itu berhasil ditemukan. Persoalan baru datang karena
seluruh isi tas tersebut sudah terlanjur berpindah tangan kepada para
tukang catut di pasar gelap. Namun Inyik Djambek tak mau tahu.
"(Baru) dua hari kemudian, kopor itu diserahkan kepada Inyik Djambek lengkap beserta isinya,"ungkap Hasjim.
Bisa dibayangkan kerja keras 'sang godfather' dan anak buahnya
mengumpulkan kembali barang-barang hasil curian itu di seluruh pasar
gelap Sumatra Barat. Dikisahkan Bung Karno sendiri merasa senang dan
berterimakasih barang-barang pribadi-nya yang akan menjadi modal
perjuangan bisa balik lagi, tanpa kekurangan satu.
Komentar
Posting Komentar